Jumat, 25 Maret 2011

Miun baru saja selasei mengikuti pembahasan kurikulum permanency planning and child protection di hotel grand flora kemang. Sebuah diskusi yang luar biasa memang pikir Miun, karena dihadiri oleh empat orang Amerika yang sengaja datang ke Indonesia untuk membantu merancang kurikulum dengan baik. Dari satu sisi memang bagus, karena artinya terjadi kerjasama yang baik antara praktisi pendidikan Indonesia dengan Amerika dalam membangun sistem pembelajaran atau proses belajar mengajar agar menjadi lebih baik. Namun jika dilihar dari sisi yang lain, terutama dari sisi konten adalah cukup miris. Konten yang dibahas secara umum berbicara tentang perlindungan anak di Indonesia. Artinya seharusnya ini menjadi fokus perhatian orang Indonesia untuk terus memperbaikinya. Namun, ternyata ada pihak-pihak yang tinggal jauh dari Indonesia yang lebih peduli untuk mendiskusikan, meningkatkan dan menyempurnakan kurikulumnya. Luar biasa, guman Miun dalam hati.
Pukul 12.50 Miun telah menyelesaikan makan siangnya dan bergegas menuju lobi hotel yang eropa tersebut. Lobi Grand Flora sangat minimalis. Luas ruangan yang sekitar 8x6 meter tersebut, diisi dengan dua meja pendek untuk resepsionis. Ini tidak biasa, karena biasanya lobi hotel  selalu dilengkapi dengan meja yang cukup tinggi, sehingga membuat para tamu harus berdiri untuk berhadapan dengan resepsionis hotel. Disamping meja tersebut terdapat sebuah grand piano yang besar dan satu meja untuk keperluan parkir mobil dan pemanggilan taksi. Miun tidak sempat mengamati itu semua, ia hanya ingin bergegas menuju stasiun Gambir, karena mengejar kereta Api Argo Bromo pukul 14.30. dengan bantuan pegawai hotel taksi sebuah blue bird biru segera parkir di lokasi dan segera meluncur menembus kepadatan jalan raya Jakarta. Miun tidak ingin terlibat dengan spekulasi pemikiran tentang apakah ia akan terlambat atau tidak di stasiun Gambir, jadi ia berusaha memfokuskan pendengarannya pada lagu-lagu dari Gen FM Jakarta.
Setelah berhasil melewati jalan-jalan yang macet, taksi melaju kencang menuju stasiun yang sudah hampir sepuluh tahun ini mengangkat rel kereta api ke lantai 4, tidak lagi konvensional seperti jaman dulu. Begitu taksi berhenti dan memberi supir taksi tips secukupnya, Miun setengah berlari menuju tempat pembelian tiket Argo Gede, dan menunggu satu orang antrian. Sial beribu sial, ternyata itu adalah tiket terakhir untuk kereta api Argo Gede yang berangkat pukul 14.30. Setengah mati Miun menelan kekesalannya. Harapannya untuk segera tiba di Bandung sirna sudah. Beberapa agen travel dihubungi namun semua memberikan jawabannya yang sama “sold out”. Ketika kekesalah memuncak, ia ingat dengan satu konsep berpikir apresiatif
Berpikir apresiatif adalah lebih dari sekedar berpikir positif. Ini adalah tingkatan berpikir yang tidak hanya mendorong otak untuk mengenyahkan pikiran negatif, namun lebih dari itu memaksa otak untuk mencari sesuatu dibalik setiap kejadian. Berpikir apresiatif adalah memberi penghargaan pada peristiwa tidak terduga yang menimpa kita. Berpikir apresiatif itu kurang lebih seperti pernyataan-pernyataan berikut ini
·         “ wah, saya ketinggalan kereta. Oke tidak apa-apa. Karena pasti ada maksud baik dibalik semua ini. Mungkin keterlambatan ini akan membuat saya sempat untuk membaca buku atau menulis artikel”
·         “wah, mati lampu. PLN mungkin salah dalam hal ini karena tidak becus mengurus listrik, tapi inilah kesempatan saya untuk belajar menyanyi dengan gitar”
·         “wah dosennya tidak masuk. Oke tidak apa-apa, karena setiap dosen memang harus melaksanakan tri dharma perguruan tinggi, sehingga tidak hampir tidak mungkin ia dapat hadir diseluruh pertemuan. Waktu kosong ini, sudah pasti berguna buat saya. Paling tidak saya dapat membaca buku teks dengan lebih konsentrasi, karena pada waktu yang lain hampir tidak mungkin itu dilakukan”
Berpikir apresiatif adalah menghargai detik demi detik yang berjalan. Orang dengen pemikiran ini, tidak akan membiarkan dirinya menjadi pencari kambing hitam. Ia tidak akan menyalahkan berbagai situasi atas ketidaksempurnaan dirinya. Ia tidak akan menjelek-jelekkan nasib/takdir atas kekurangsuksesan dirinya. Ia tidak akan memberi label buruk pada lingkungan disekelilingnya atas kebelumtercapainya apa yang dicita-citakan. Karena hal melakukan hal-hal tersebut sama dengan menurunkan potensi berpikir kita, harga diri kita atau bahkan kemanusiaan kita. Atau meminjam istilah Paolo Friere dehumanisasi, atau merujuk kepada Andrias Harefa pembinatangan.
Manusia adalah mahluk yang berpikir, dengan tingkat kemampuan berpikir yang mengalahkan komputer. Itulah yang membedakannya dengan mahluk lain. Maka, jika manusia tidak menggunakan kemampuan berpikirnya, berarti ia tidak memanusiakan dirinya dan cenderung menyamakan dirinya dengan mahluk lain yang kurang memiliki kemampuan berpikir. Itulah dehumanisasi. Yaitu menafikan kenyataan bahwa sebenarnya ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Manusia yang membiarkan dirinya tidak berpikir atau mempersilakan dirinya berpikir negatif, berarti mengalah pada situasi linkungan. Ia menyerahkan langkah hidupnya, atau bahkan cita-citanya pada kondisi lingkungan yang memang selalu berubah dan tidak pernah statis. Ia merelakan gerak langkah kehidupannya pada stimulus luar yang tidak selalu terprediksi. Anehnya, hal ini lebih mudah dilakukan dan cenderung lebih menyenangkan. Contoh kita sudah berniat akan bangun subuh dan belajar, ternyata hujan turun, dan kita kembali menarik selimut karena hawa yang dingin. Nah, inilah yang dikatakan sebagai menyerah pada stimulus luar. Hujan, dapat terjadi kapan saja. Maka jika kita mood belajar kita tergantung pada datang tidaknya hujan, maka hal tersebut sama saja dengan menyerahkan cita-cita masa depan kita (yang disimbolkan dengan belajar) pada hujan. Mari kita lihat, jika kita menunda kegiatan belajar tersebut sampai esok hari, maka kita akan kehilangan beberapa jam di esok hari untuk melakukan kegiatan lain. Ingat setiap orang hanya memiliki 24 jam sehari atau 100 persen waktu. Artinya jika kita tidak menggunakan waktu kita 100 persen hari ini (misalnya hanya 70-80%) maka kita tidak akan mendapatkan gantinya di hari esok. Mengapa? Karena di esok hari kita juga hanya memiliki waktu 100% bukan 120 atau 130 persen.
Setelah merenung cukup lama, Miun mulai dapat menghilangkan kekesalannya, dan semangatnyapun kembali timbul. Ia ingat bahwa artikel yang akan dimasukkan ke majalah belum selesai diketik. Maka ia segera memilih satu restoran yang kira-kira ia dapat duduk dalam waktu yang cukup lama. Laptop dibuka, dan tulisanpun mengalir.
Miun kembali berujar, “mmmh memang benar, tidak ada gunanya berpikir negatif setelah berusaha dengan maksimal. sekarang saya yakin saya dapat mencapai apapun yang saya inginkan. Sebab, sebenarnya tidak ada yang namanya hambatan, yang ada hanya jalan alternatif untuk kembali ke jalan utama. Tidak ada yang namanya rintangan, yang ada hanya pikiran yang kreatif untuk kembali ke gagasan utama. Tidak ada yang namanya gangguan, yang ada hanya alat-alat fitness untuk membuat otot sukses menjadi lebih kuat dan bebas dari lemak kemalasan. Tidak ada yang namanya kendala, yang ada hanya kesempatan untuk menambah kemampuan otak mengatasi masalah yang berbeda. Sebab situasi yang berbeda selalu terjadi setiap hari tanpa dapat diprediksi, dan adalah sebuah kegilaan  (insanity) menghadapi masalah yang berbeda dengan cara yang sama”. Begitu kata Einstein.
(dapatkan kisah lengkapnya di Buku Psikologi Untuk Pengembangan Diri. Hery Wibowo. 2010. Widya Padjadjaran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar