Senin, 11 April 2011

Cukupkah 24 jam sehari?




“wah rasanya hidup saya selalu diburu-buru waktu, jadi stress terus!”
“ups, hampir saja saya terlambat, perjalanan yang macet selalu saja menghabiskan waktu saya..”
“Bos saya kejam sekali, saya hanya diberi waktu sedikit untuk menyelesaikan pekerjaan seberat ini”.
Berbagai ungkapan dimuka rasanya  cukup familiar ditelinga kita. Bahkan tanpa kita sadari, kita adalah juga golongan yang sering mengucapkan kata-kata dimuka. Lalu, apakah benar bahwa kita dijajah oleh waktu? Benarkah bahwa sang waktu mengatur hidup kita? Atau, benarkah bahwa kita tidak bisa ‘mengendalikan waktu?”.
Berbagai pertanyaan dimuka mungkin membutuhkan sekian ‘waktu’ untuk dapat dijawab secara baik dan benar. Namun ada beberapa hal –terkait dengan waktu- yang memang sudah disepakati bersama. Yaitu antara lain bahwa
-          Waktu yang berjalan tidak dapat dihentikan walaupun satu detik pun
-          Waktu yang telah lewat tidak dapat diputar ulang
-          Waktu yang akan datang tidak dapat dipercepat datangnya
Artinya, kita sebagai mahluk manusia hanya dapat mengisi waktu-waktu yang terus berjalan dan berlalu tersebut. Namun, benarkah dalam mengisi waktu tersebut kita terjajah oleh waktu? Nah ini dia pertanyaan besarnya. Apakah anda merasa terjajah? Beberapa orang tampaknya memang ‘terjajah’oleh waktu. Inilah golongan yang sering mengatakan bahwa waktu 24 jam itu tidak cukup. Waktu  7 hari seminggu itu tidak cukup. Bahkan waktu satu bulan 30/31 haripun masih dianggap tidak cukup.
Maka untuk merasa tidak terjajah oleh waktu, sebenarnya sederhana saja. Dengan mengenal tiga pilar dari waktu (seperti telah diungkap dimuka), kita dapat mensiasati waktu-waktu yang kita miliki. Yang kedua, dengan mengetahui apa prioritas kita mengisi dalam waktu-waktu tersebut, kita dapat berdamai dan bersahabat dengan waktu.
Sebagai contoh; ketika kita tau bahwa waktu tidak dapat dihentikan dan tidak dapat diputar mundur, maka usahakanlah untuk jangan sekali-kali melakukan aktivitas besar tanpa membuat perencanaan sebelumnya. Karena akibatnya fatal, kita tidak akan dapat memutar jarum jam kembali. Selanjutnya, jika kita tau bahwa waktu tidak dapat dihentikan satu detik pun, atau waktu satu hari tidak akan bertambah menjadi 25 jam, maka pastikan bahwa sebelum tidur, kita sudah 100 persen mengisi hari tersebut dengan berbagai kegiatan yang menenuhi prioritas kegiatan yang telah disusun. Mengapa, karena kita tidak akan mendapat dispensasi 110% untuk esok hari.
Kemudian, perlu diingat kembali bahwa, untuk tidak kehilangan banyak waktu, kita perlu bersiap untuk selalu mengasah gergaji. Ingatlah sebuah kisah klasik tentang seseorang bapak yang telah berjam-jam menggergaji sebuah pohon yang besar, ditanya oleh seorang anak kecil
 “pak, saya lihat bapak telah menghabiskan waktu tiga jam lebih untuk mencoba menggergaji pohon ini..”
Betul Nak, inilah yang disebut kerja keras..”
“Ya, betul sih… tapi saya boleh nanya  tidak pak?”
“Boleh saja”
Kenapa Bapak tidak berhenti dahulu untuk kemudian mengasah gergaji ini? Karena kelihatannya gergaji itu agak tumpul sehingga sulit untuk dapat memotong pohon tersebut. Saya pikir itu dapat meringankan tugas Bapak?
“Wah Nak, saya lagi sibuk bekerja keras, sehingga tidak sempat untuk sekedar mengasah gergaji ini…
“…???...”
Apakah kita termasuk golongan ini? Yaitu golongan yang ‘seakan-akan’ berusaha sekuat tenaga untuk bekerja keras dan tidak menyia-nyiakan waktu sedikit pun, namun lupa untuk mengasah gergaji? Sehingga tanpa kita sadari, pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan lebih cepat menjadi jauh lebih lama karena gergaji kita tumpul. Sudah banyak para ahli yang mencoba mendefisikan apa itu gergaji manusia sebenarnya? Namun secara umum, hal tersebut mengkerucut menjadi empat aspek, yaitu
(a)     Aspek pikiran/intelegensi/otak
(b)   Aspek emosi/sosial
(c)    Aspek spiritual
(d)   Aspek emosi
Sebuah perusahaan yang terus menerus dirudung masalah misalnya, mungkin ia lupa bahwa saat in sudah diciptakan puluhan tehnik problem solving terbaru yang dapat diterapkan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang berpotensi menghambat lajunya perusahaan. Malasnya sang bos untuk mengasah gergajinya (mungkin dengan iming-iming penghematan) justru menjadi penghambat utama dari lajunya gerbong perusahaan.
Contoh lainnya adalah pada orang yang sibuk dan ‘sok sibuk’. Disekitar kita, biasanya dengan mudah kita menemukan orang-orang yang bergerak dari pagi sampai malam, yang meloncat dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Namun, tidak jarang diantara mereka banyak yang stres sendiri dan seakan-akan kehilangan orientasi. Terutama ketika satu rencana berjalan terlalu lama dan menabrak rencana lainnya. Atau satu rencana gagal sehingga menggagalkan rangkaian selanjutnya. Maka, orang-orang yang ‘sok sibuk, biasanya akan menjadi panik luar biasa. Mereka merasa langit sudah runtuh, dan parahnya lagi mereka tidak memiliki plan B, apalagi C dan D.
Bandingkan dengan mereka yang selalu mengasah gergaji. Setiap selesai sebuah aktivitas/program/kegiatan, mereka dengan sengaja melakukan evaluasi, untuk selalu menemukan jawabah terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti”
-          Adakah cara yang lebih baik/lebih cepat untuk menyelesaikan program tadi?
-          Adakah jalur/prosedur yang lebih singkat?
-          Adakah pihak-pihak yang dapat dilibatkan untuk menyingkat waktu pelaksanaan kegiatan?
-          Adalah saluran/media komunikasi yang dapat dimaksimalkan?
-          Adalah teknologi yang sebenarnya dapat sangat membantu meringankan pekerjaan yang belum dioptimalkan?
Pada saat mengajukan pertanyaan inilah sebenarnya saat dimana kita sadar bahwa kita dapat berdamai dengan waktu. Intinya adalah bahwa selalu ada jalan untuk menjadi lebih baik dan lebih efektif. Mengeluh mengenai terbatasnya waktu yang kita miliki tidak akan mengubah apapun. Sebaliknya, selalu bertanya mengenai apa yang seharusnya dapat dilakukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan lebih efektif, akan jauh lebih baik. Jadi, waktu tidak akan pernah menjajah kita sebenarnya, sepanjang kita mampu lebih cerdas dan cerdik.

Hidup untuk hari ini

Hidup untuk hari ini

Tampak tidak ada yang istimewa dengan judul dimuka. Namun, jika kita mau memperhatikan lebih lanjut, ada dua hal yang sering kita lupakan terkait judul dimuka, yaitu bahwa kita (ternyata) cenderung untuk hidup dimasa lalu dan hidup untuk masa depan (sehingga melupakan bahwa hidup sesungguhnya adalah untuk hari ini). Ada sebagian orang yang hidup atau memilih hidup dalam bayang-bayang masa lalu, sehingga seluruh pemikirannya dipenuhi oleh kejayaan masa lalunya. Ia selalu berkhayal dan mengenang kembali kesuksesan masa lalunya, dan hal tersebut mewarnai hampir seluruh pembicaraannya. Kata-kata yang sering diucapkannya antara lain seperti
“Hai, apakah kamu tau bahwa aku dahulu pernah…bla-bla”
“Wah kalau hanya seperti itu saja, saya juga pernah, saya dulu kan pernah….”
“Apakah kamu sadar bahwa yang pertama kali melakukan hal itu kan Aku…..”
“Loh, kalian ini bagaimana? Itukan dulu ide dari Saya, sehinga semuanya jadi sukses seperti sekarang
Dan lain-lain yang berbau hidup di masa lalu, bukan hidup untuk hari ini.
Golongan kedua, adalah mereka yang hidup hanya untuk masa depan. Cirinya sederhana, pembicaraanya didominasi oleh khayalan dan cita-citanya dimasa depan.
“Oke, sekarang aku memang berantakan, namun lihat saja lima tahun lagi…”
“Mungkin saja kalian bisa tertawa, tapi lihat dua tahun kedepan..”
Mari kita introspeksi, digolongan manakah kita berada, golongan pertama atau kedua?
Apakah kedua golongan itu salah? Tidak juga, namun mari kita renungkan,.. apakah kita memiliki hari kemarin? Tidak, karena sudah lewat dan tidak mungkin terulang. Apakah kita memiliki hari esok? Belum tentu, karena apapun bisa terjadi sebelum ‘besok’ datang. Oleh karena itu, yang kita miliki adalah hari ini. Maka berbuatlah yang terbaik setiap saat. Karena sikap terbaik kita pada hari ini, akan mengantarkan kita ke tempat terbaik di masa depan (HW, 2011)

Senin, 04 April 2011

Menantang Limiting Beliefs (Erni Julia Kok dari buku Mental Pemenang Mental Pencundang)

Menaklukkan Limiting Beliefs
Kata-kata yang kita ucapkan merupakan refleksi dari sturktur pikiran yang dalam (deep structure), sedang deep structure itu sendiri merupakan gudang pengalaman. Hubungan timbal balik ini memungkinkan kita mengubah pengalaman buruk yang tersimpan dalam deep structure dengan menggunakan kata-kata tantangan dan counter example yang tepat. Bila Anda mendengar orang lain dan terutama diri sendiri mengucapkan kalimat-kalimat yang mencerminkan keyakinan melemahkan, Anda dapat menantang orang yang mengucapkannya –terutama diri sendiri- agar mengeksplorasi lebih intersif pengalaman buruk yang terbenam dalam deep structure tersebut. Dengan menggunakan contoh-contoh pernyataan yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya, tantangan dan conter example yang dapat diberikan tersaji seperti berikut ini:
Pernyatan: “kehidupan ini penuh rintangan”
Tantangan: “Sebab itu menarik untuk dijalani bukan? Pasti sangat membosankan hidup tanpa rintangan..!”
Pernyataan: “Pengalamanku buruk semua, barangkali aku memang dilahirkan untuk hidup menderita seperti halnya nenek moyangku”
Tantangan: “Semua? Semuanya buruk? Tidak ada satupun yang menyenangkan?”
Counter example: “Nenek moyang si Polan bernasib buruk, tapi si Pola sukses dan bahagian..”
Pernyataan: “Aku tak mungkin melakukan hal ini, terlalu sulit!”
Tantangan: “Sudah pernah kau coba? Berapa kali kau mencobanya? Sudahkah kau baca buku petunjuk melakukannya? Sudahkah engkau bertanya atau konsultasi dengan orang yang tahu caranya?”
Counter example: “Si Nani bisa melakukannya, tuh.”
Pernyataan: “Aku sudah terlalu tua.”
Counter example: “Pak Tjiputra lebih tua daripada kamu.”
Pernyataan: “Buat apa berharap yang muluk-muluk? Kalau tidak tercapai kan kecewa?!”
Tantangan: “Berapa kali kau berharap? Berapa kali kau menderita kekecewaan?
Pernyataan: “Semakin tinggi naiknya, semakin parah jatuhnya.”
Tantangan: “Apakah kau pernah jatuh? Di mana? Kapan? Bagaimana persisnya kau jatuh?”
Pernyataan: “Sudah terlambat.”
Tantangan: “Lebih baik terlambat daripada tidak pernah melakukannya sama sekali.”
Pernyataan: “Terlalu awal.”
Tantangan: “Bagus! Tersedia banyak waktu untuk melakukan persiapan sebaik-baiknya.”

Jumat, 01 April 2011

Mengapa Kewirausahaan Sosial?

Kewirausahaan Sosial:
Seuntai Telaah Konseptual
Hery Wibowo, S.Psi., MM[1]
Masih banyak sisi yang belum tersentuh oleh gerak pembangunan,
dan masih lebih banyak lagi penduduk yang belum merasakan peningkatan kesejahteraan.

Mukadimah
Jargon pembangunan Indonesia yang berbunyi Pembangunan Manusia Seutuhnya, seakan-akan sudah kurang bertaring lagi. Berbagai aktivitas pembangunan justru lebih diarahkan kepada bidang-bidang fisik daripada mental. Hal ini diperparah lagi dengan efek dari pembangunan sentralistik yang membuat keberanian untuk berkreasi dan mengeluarkan pendapat menjadi tumpul. Imam B. Prasodjo[2] mengungkapkan bahwa kearifan lokal yang menjadi urat nadi kehidupan komunitas telah lama lumpuh, tak berkembang dalam merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Inisyatif individu tergilas oleh dominasi mesin birokrasi yang seringkali kaku, represif, korup dan tak memberi ruang pada kreativitas.
Maka, berdasarkan pemikiran dimuka, dapat dikatakan bahwa rakyat selama ini hampir murni tergantung pada program-program pemerintah. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa program pembanguan –pada suatu waktu- tidak akan mungkin menenuhi seluruh kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan seluruh masalah sosial yang terjadi. Negara Indonesia terlalu luas dan memiliki jumlah penduduk yang terlalu banyak untuk dapat disentuh dalam satu waktu oleh derap pembangunan
Oleh karena itu wajar kiranya jika dibutuhkan agen-agen diberbagai sektor yang dapat mendukung atau bahkan mengambil alih tugas-tugas yang belum atau bahkan tidak tersentuh oleh pembangunan. Kejadian seperti ini akan mungkin terlaksana jika dari masyarakat itu sendiri muncul pemimpin-pemimpin yang visioner, dan mampu berbuat sesuatu minimal untuk masyarakat sekitarnya. Para pemimpin lokal tersebut adalah mereka yang mampu melihat dan menemukan potensi-potensi daerahnya (baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia) untuk kemudian dikembangkan dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan lokal yang dihadapi.

Upaya memahami Kewirausahaan Sosial
Kewirausahaan sosial berbeda dengan kewirausahaan bisnis dalam banyak hal. Kunci perbedaannya adalah bahwa kewirausahaan sosial berdiri/berjalan dengan sebuah misi/tujuan sosial yang eksplisit/jelas dalam pikiran. Tujuan utama mereka adalah menjadikan dunia yang lebih baik. Hal ini mempengaruhi bagaimana mereka mengukur kesuksesan mereka dan menstrukturkan pengelolaannya (dees, dkk, 2002:xxxi).
Berdasarkan hal dimuka, tampak bahwa kewirausahaan sosial itu sendiri adalah sebuah gerakan yang didorong oleh semangat untuk menolong orang lain dan membuat perubahan untuk kebaikan bagi orang banyak. Walaupun pada umumnya sebuah aktivitas kewirausahaan bisnis memberikan manfaat bagi orang banyak, namun gerakan kewirausahaan sosial menempatkan hal tersebut sebagai tujuan utama, bukan sebagai dampak/implikasi maupun ikutan.
Hal ini tentu saja membuat cara menjalankan maupun cara mengelola sebuah entitas kewirausahaan sosial akan berbeda dengan cara mengelola kewirausahaan bisnis. Meskipun harus diakui akan banyak irisan diantara keduanya.
Menurut Dees (2002: xxxi) cara terbaik mengukur kesuksesan kewirausahaan sosial adalah bukan dengan menghitung jumlah profit yang dihasilkan, melainkan pada tingkat dimana mereka telah menghasilkan nilai-nilai sosial (social value). Para wirausaha sosial bertindak sebagai agen perubahan dalam sektor sosial dengan:
1.       Mengadopsi sebuah misi untuk menciptakan dan mempertahankan nilai-nilai sosial. Bagi wirausaha sosial, misi untuk perbaikan/peningkatan kondisi sosial adalah krusial, dan hal ini merupakan sebuah prioritas/tujuan yang lebih utama daripada menghasilkan keuntungan semata.
2.       Mengenali dan mengusahaka peluang-peluang baru untuk menjamin keberlangsungan misi tersebut. Ketika yang lain melihat masalah, para wirausaha melihat peluang. Para wirausaha sosial memiliki visi tentang bagaimana mereka dapat meraih tujuan-tujuannya dan mereka sangat memaksa diri mereka sendiri agat visi tersebut tercapai.
3.      Melibatkan diri dalam sebuah proses inovasi, adaptasi dan belajar yang berkelanjutan. Wirausaha sosial mencari dan menjalankan cara-cara yang inovatif untuk memansitkan bahwa mereka memiliki akses terhadap sumber-sumber dan pendanaan yang dibutuhkan, selama mereka masih berusaha menciptakan nilai-nilai sosial
4.      Bertindak penuh semangat walaupun dengan keterbatasan sumber. Wirausaha sosial adalah orang-orang yang pintar bergerak dan berinisyatif walaupun dengan berbagai keterbatasan. Mereka mengeksplorasi berbagai pilihan sumber-sumber dari mulai filantropi sampai metode-metode komersial dari sektor bisnis, namun tidak terikat pada norma dan tradisi tertentu
5.      Penuh intensitas dalam semangat akuntabilitas kepada konstituen dan pada usaha-usaha untuk menghasilkan target yang telah ditetapkan. Wirausaha sosial mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa mereka terus menciptakan nilai. Mereka berusaha menghasilkan perbaikan sosial pada masyarakat sebaik/sebagaimana pengembalian dana kepada investor (Dees dkk, 2002:xxxi)
Berdasarkan uraian dimuka, maka dapat dikatakan bahwa wirausaha sosial memasang target perbaikan atau peningkatan kondisi sosial dalam pikirannya, kemudian menggerakan seluruh anggota badannya untuk melakukan aksi-aksi yang mendukung pencapaian target tersebut. Satu hal yang unik dan cenderung menjadi ciri dari wirausaha sosial adalah mereka berusaha mendeteksi dan mendiagnosis akar permasalahan daripada sekedar memperbaiki gejala-gejala ringan dari masalah. Mereka tidak sekedar mengatasi masalah yang terjadi akibat banjir, namun terjun langsung untuk meneliti mengapa di sebuah daerah mengalami banjir rutin. Mereka tidak berusaha menolong petani jati memenuhi kebutuhan sehari-harinya, memberikan beasiswa kepada anak petani jati, namun terjun langsung ke pokok persoalan untuk memperbaiki industri kayu jati. Wirausaha sosial sejati tidak hanya akan berusaha membersihkan sampah dari lingkungan desa tertentu, namun menggali alternatif tindakan untuk mendorong dan mengajarkan pola pembuangan sampah yang baik mengusahakan agar masyarakat mendapat manfaat sebesar-besanya dari sampah yang mereka hasilkan sendiri.
Tujuan sosial adalah daya dorong mereka. Perbaikan dan peningkatan kehidupan masyarakat merupakan bahan bakar mereka untuk tahan banting menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan. Berbagai upaya inovatif, bahkan yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh orang kebanyakan ditempuh. Berbagai jalur yang berpotensi untuk memuluskan jalan mereka menuju kondisi yang dicita-citakan selalu dilirik, mulai dari jalur keluarga, budaya, adat istiadat dan lain-lain.
Jelas sekali terlihat bahwa perbedaannya adalah pada misi atau alasan utama mengapa aktivitas itu dilaksanakan. Jika pada kewirausahaan ‘biasa’, biasanya alasanya utamanya adalah untuk menghasilkan profit yang sebesar-besarnya. Namun, pada kewirasuahaan sosial, tujuan utamanya adalah pada pencapaian manfaat sosial, dengan tidak melupakan aspek ‘bisnis’-nya tentu saja. Titik tekan inovasi sosial, juga tampak pada definisi yang diungkapkan oleh James E. Austin
Social entreprenurship is innovative, social value creating activity that can occur within or across the nonprofit, business, and public sectors (Austin, Stevenson and Wei-Skillern, 2006:22)
Pemikiran Austin tersebut semakin menguatkan bahwa inovasi adalah modal utama dari gerakan kewirausahaan. Sebab tanpa kemampuan inovasi yang mumpuni, sangat sulit bagi aktor untuk dapat melihat peluang pelayanan sosial dari sebuah masalah sosial atau perubahan sosial. Kepekaan dan kepedulian terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat sekitar adalah modal utama dari gerakan kewirausahan sosial.



[1] Penulis adalah staf Pengajar di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD
[2] Dalam kata pengantar untuk buku Mengubah Dunia: Kewirausahaan Sosial dan Kekuatan Gagasan Baru. 2006. Nurani Dunia dan Insist Press Jakarta. Hal xiv

Jumat, 25 Maret 2011

The Social Enterprise Spectrum

Spectrum dari social enterprise (Dees, 2001:15)
Tabel. Spektrum dari Perusahaan Sosial

Continuum of Options

Purely Philanthropic
Hybrids
Purely Commercial
General Motives, Methods and Goals
Appeal to goodwill
Mixed motives
Appeal to self interest

Mission driven
Balance of mission and market
Market-driven

Social value creation
Social and economic value
Economic value creation
Key Stakeholders



Beneficiaries
Pay nothing
Subsidized rates and/ or mix of full payers and those who pay nothing
Pay full market rates
Capital
Donations and grants
Below-market capital and/or mix of full payers and those who pay nothing
Market rate capital
Workforce
Volunteers
Below-market wages and/or mix of volunteers and fully paid staff
Market rate compensation

perkembangan kewirausahaan sosial

Perkembangan kewirausahaan sosial saat ini rasanya sudah semakin tidak terbendung lagi. Menurut Dees (2001:12) ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain:
1.       Berkembangnya fokus tentang efektivitas dari sistem pemerintahan tradisional dan pendekatan caritas dalam pemenuhan kebutuhan sosial
2.       Pencarian yang terus menerus terkait solusi inovatif yang mendukung pada perbaikan yang terus menerus
3.       Peningkatan keterbukaan pada eksperimentasi dengan pendekatan berbasis pasar dan metode bisnis pada sektor sosial
4.       Pertumbuhan pemikiran menuju privatisasi layanan publik, mengacu pada government contracting baik dengan penyedia layanan profit maupun non profit
5.       Pemikiran menuju pendekatan berbasis hasil (daripada berbasis kebutuhan) untuk mendanai bagian-bagian dari pihak pilantropi swasta maupun agen-agen pemerintahan
6.       Pendekatan baru yang lebih strategis dalam keterlibatan perusahaan dengan isu-isu sosial dan kemasyarakatan

Usaha mengenal konsep belajar

Belajar. Rasanya semua orang familiar dengan kata ini. Tidak ada satu tahapan kehidupan manusia yang terlepas dari aktivitas ini. Sebagai contoh; dari bayi, kita sudah belajar untuk berjalan, minum air dari gelas, berbicara dan lain-lain. Kegiatan ini berlanjut terus sampai seorang individu memasuki usia tua. Ketika sudah tua, ia akan belajar beradaptasi dengan lingkungan rumah (karena sudah tidak bekerja), belajar menjalani kehidupan denga pola yang lebih teratur dan lain-lain. Beberapa contoh aktivitas dimuka, dapat dikategorikan sebagai aktivitas belajar dalam lingkup yang luas, sedangkan untuk lingkup yang kecil, belajar lebih mengacu kepada mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan atau pekerjaan, misalnya belajar komputer, bahasa Inggris dan lain-lain.
Perkembangan zaman yang begitu cepat, menuntut setiap orang untuk terus belajar. Kalau tidak untuk dapat menyaingi orang lain, minimal agar tidak tertinggal oleh orang lain. Wacana pengembangan diri, juga sarat dengan aktivitas belajar. Mengapa? Karena salah satu sarat agar seseorang dapat mengembangkan dirinya, ia perlu terus menerus melakukan aktivitas belajar.

Berbagai tokoh dalam dunia psikologi telah memberikan definisi yang menjelaskan pengertian dari belajar:
Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan yang relative permanent dari tingkah laku, yang terjadi sebagai hasil dari latihan atau pengalaman. Pengertian ini mengandung tiga elemen penting:
  1. Belajar adalah perubahan pada tingkah laku
  2. perubahan yang terjadi adalah karena hasil latihan atau pengalaman; perubhan tingkah laku karena pertumbuhan atau maturasi bukan belajar
  3. Sebelum disebut belajar, perubahan tersebut harus relative menetap/permanen
(Clifford T Morgan, dkk, Introduction to Psychology, Mc Graw Hill International Edition, cetakan ketujuh, 1986)

Sikap positif terhadap belajar muncul dari:
  1. Mengetahui cara menciptakan keyakinan sekuat mungkin pada kemampuan kita. Keyakinan pada diri sendiri adalah kunci keberhasilan
  2. Mampu menentukan tujuan yang jelas. Meluangkan waktu untuk belajar berarti memilih dari berbagai kemungkinan. Motivasi Anda untuk memilih belajar daripada bersantai-santai terutama bergantung pada sejernih apa visi Anda tentang keberhasilan Anda pada masa depan
  3. Mampu merelakskan dan menenangkan diri kapanpun Anda perlu
(Kuasai Lebih Cepat, Collin Rose, PT Mizan Pustaka, Desember 2003)