Jumat, 25 Maret 2011

Mabuk Bulan-Matahari

Jakarta sering disebut-sebut sebagai kota harapan, oleh karena itu wajar jika tiap tahun ribuan orang datang mengadu nasib berbondong-bondong ke Jakarta. Tentu saja mengingat jumlah lapangan pekerjaannya tidak sebanding dengan jumlah manusia yang darang, maka wajar jika setiap bulan jumlah pengangguran bertambah banyak. Beratnya beban kehidupan kadang membuat benteng pertahanan perut maupun iman menjadi bobol. Sehingga jalan pintas menuju kesenanganpun menjadi sebuah pilihan, yaitu bermabuk-mabukkan. Siang itu, di teriknya Jakarta, dua laki-laki yang sedang mabuk berjalan terhuyung-huyung memegang botolnya. Setelah beberapa saat, rupanya kesadarannya mulai pulih, dan mereka mulai terlibat dalam percakapan,
“wah sudah berapa lama ya kita berjalan?” kata yang satu
“baru juga sehari, sekarang kan sudah pagi lagi..” jawab yang satu lagi
“siapa bilang pagi, sekarang ini malam tau... itu buktinya diatas ada matahari..” kata yang pertama sambil menujuk ke atas
“bulan, bukan matahari...” jawab yang satu tidak mau mengalah
“matahari!”
“bulan!”
“ya sudah, daripada bertengkar, mending kita tanya orang lewat saja...”
Tak berapa lama kemudian seorang laki-laki lewat, dan langung dihampiri. Serempak, mereka berdua langsung bertanya kepada orang yang lewat tersebut
“Mas, maaf numpang nanya, itu diatas bulan atau matahari ya?”
“wah ndak tau ya, saya orang baru disini...”
“????.......”

Begitulah, kita harus benar-benar dalam kondisi sadar dan ‘on’ untuk menikmati buku ini. Jangan seperti orang mabuk pada cerita dimuka. Intinya, buku ini secara sederhana mencoba mengajak kita untuk bertingkah laku secara sehat dan memiliki pribadi yagn sehat. Mengapa ini menjadi penting? Karena kita sekarang berada di era yang serba segala, serba cepat, serba persaingan, serba  modern, serba rutin dan lain-lain. Satu hal yang mungkin tidak selalu disadari adalah berbagai “serba” tersebut berpotensi membuat kita sedikit “tidak lurus” dari yang seharusnya lurus. Sebagai contoh, banyak orang yang tadinya sangat pemalu, ketika sudah memasuki dunia kerja menjadi orang yang tidak tau malu, labrak sana-sini, memarahi rekan kerja dimuka umum, membohongi klien, dan lain-lain. Atau contoh yang lain, tuntutan yang sangat keras dari dunia kerja dapat membuat orang rela menghalalkan segala cara demi mencapai target pekerjaannya, seperti mengajak calon klien ke dunia hiburan, mengejek produk kompetitor, meniru habis strategi lawan yang dianggap berhasil dan lain-lain. Nah ketika berada di dalam dunia yang seperti itu, mampukan kita “tetap lurus” sebagai pribadi yang memiliki kepribadian normal (tadinya?).
Norma-norma tentang apa yang seharusnya kita lakukan, seringkali mudah dilibas dan digilas oleh tuntutan hidup. Ah masa, Benarkah demikian? Nah, hal inilah yang ingin kita bicarakan dari tadi, yaitu seperti apa tuntutan itu sebenarnya?
Saat ini, di televisi, banyak sekali acara yang menampilkan gaya hidup artis dan aktor. Dan jika kita perhatikan baik-baik ada satu ungkapan yang sering kita dengar ketika mereka diwawancarai wartawan terkait adegan syur yang mereka lakukan dilayar kaca sebagai berikut “saya sebagai aktor harus profesional. Apapun tuntutan skenario harus saya lakukan dengan sebaik-baiknya. Bagi saya melakukan adegan ciuman dengan lawan main adalah hal yang wajar, karena memang begitulah tuntutan skenarionya”. Jadi siapakah yang membuat tuntutan hidup atau tuntutan pekerjaan? Apakah memang benar bahwa kita harus pasrah pada tuntutan tersebut?
Tentunya pertanyaan dimuka tidak harus dijawab, karena tidak seorangpun yang bisa menuntut kita untuk menjawabnya. Namun setidaknya, mari kita mulai berpikir bahwa benarkah kita memang tidak punya pilihan (dan harus menyerah pada tuntutan skenario film misalanya)? Bagi sebagian orang yang selama ini sudah hidup dari satu tuntutan ke tuntutan lain mungkin agak sulit untuk menjawabnya, karena ia sudah terbiasa hidup dalam skenario yang dibuat oleh orang lain. Namun, bagi sebagian yang lain, yang berkesempatan ‘keluar’ sebentar dari berbagai tuntutan tersebut, mungkin dapat berpikir lebih jernih.
Ingat, bahwa kita adalah mandor dari pikiran kita, kita bisa memilih untuk terikat dan patuh terhadap tuntutan orang lain, dan sebaliknya kita juga bisa memilih untuk menolaknya. Artinya, ketika kita merasa dalam tuntutan orang lain –seperti dituntut untuk berbuat zina di depan kamera, dituntut untuk menilap hak orang lain dll- artinya kita membolehkan diri kita untuk diseperti itukan. Mengapa? Karena biasanya hal tersebut lebih nyaman buat kita. Kita hanya tinggal pasrah mengikutinya (dan bagi beberapa orang) tanpa harus mengalami perang batin (mendengarkan nasehat-nasehat dari hati kita). Sebagai contoh pada adegan ciuman tadi, kita menerimanya karena kita merasa lebih nyaman –dapat uang, dan tidak harus perang batin. Atau ketika kita mengikuti arus untuk ikut-ikut menilap hak orang lain, kita merasa nyaman karena tidak harus perang dengan batin sendiri, dan ribut-ribut untuk melarang orang lain untuk tidak melakukannya. Nah inilah diri kita yang sebenarnya. Kita memilih untuk merasa nyaman sejenak, dan membohongi hati nurani daripada berperang batin. Kita memilih untuk tidak dikucilkan rekan-rekan yang mencuri hak orang lain alih-alih memperingati rekan kita untuk tidak melakukan hal yang buruk. Sekali lagi itulah kita yang cenderung untuk memilih zona yang nyaman. Apakah salah? Belum tentu. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa kita salah jika kita memilih untuk mengikuti rekan-rekan kita yang melanggar aturan agama, daripada berperang untuk melarangnya. Kita salah jika kita memilih untuk mengikuti skenario buatan manusia yang bertentangan dengan ajaran agama. Kita salah jika memilih untuk mengikuti aturan perusahaan yang menghalalkan segala cara. Jadi, mari kita ingat selalu bahwa pikiran kita tidak bisa bekerja sendiri, ia membutuhkan hati sebagai patner sejatinya. Jika pikiran bekerja sendiri, ia hanya akan menentukan apakah sesuatu ini benar atau salah. Namun, jika kita mengikutsertakan hati, maka tidak hanya pertimbangan benar dan salah yang kita peroleh, namun juga pertimbangan baik dan buruknya. Jika kita hanya menggunakan otak, mungkin kita akan membenarkan pendapat bahwa korupsi adalah cara tercepat untuk menjadi kaya. Namun, jika kita mengikutsertakan hati, maka kita akan segara sadar bahwa korupsi adalah cara yang buruk dan dilarang oleh agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar