“wah rasanya hidup saya selalu diburu-buru waktu, jadi stress terus!”
“ups, hampir saja saya terlambat, perjalanan yang macet selalu saja menghabiskan waktu saya..”
“Bos saya kejam sekali, saya hanya diberi waktu sedikit untuk menyelesaikan pekerjaan seberat ini”.
Berbagai ungkapan dimuka rasanya cukup familiar ditelinga kita. Bahkan tanpa kita sadari, kita adalah juga golongan yang sering mengucapkan kata-kata dimuka. Lalu, apakah benar bahwa kita dijajah oleh waktu? Benarkah bahwa sang waktu mengatur hidup kita? Atau, benarkah bahwa kita tidak bisa ‘mengendalikan waktu?”.
Berbagai pertanyaan dimuka mungkin membutuhkan sekian ‘waktu’ untuk dapat dijawab secara baik dan benar. Namun ada beberapa hal –terkait dengan waktu- yang memang sudah disepakati bersama. Yaitu antara lain bahwa
- Waktu yang berjalan tidak dapat dihentikan walaupun satu detik pun
- Waktu yang telah lewat tidak dapat diputar ulang
- Waktu yang akan datang tidak dapat dipercepat datangnya
Artinya, kita sebagai mahluk manusia hanya dapat mengisi waktu-waktu yang terus berjalan dan berlalu tersebut. Namun, benarkah dalam mengisi waktu tersebut kita terjajah oleh waktu? Nah ini dia pertanyaan besarnya. Apakah anda merasa terjajah? Beberapa orang tampaknya memang ‘terjajah’oleh waktu. Inilah golongan yang sering mengatakan bahwa waktu 24 jam itu tidak cukup. Waktu 7 hari seminggu itu tidak cukup. Bahkan waktu satu bulan 30/31 haripun masih dianggap tidak cukup.
Maka untuk merasa tidak terjajah oleh waktu, sebenarnya sederhana saja. Dengan mengenal tiga pilar dari waktu (seperti telah diungkap dimuka), kita dapat mensiasati waktu-waktu yang kita miliki. Yang kedua, dengan mengetahui apa prioritas kita mengisi dalam waktu-waktu tersebut, kita dapat berdamai dan bersahabat dengan waktu.
Sebagai contoh; ketika kita tau bahwa waktu tidak dapat dihentikan dan tidak dapat diputar mundur, maka usahakanlah untuk jangan sekali-kali melakukan aktivitas besar tanpa membuat perencanaan sebelumnya. Karena akibatnya fatal, kita tidak akan dapat memutar jarum jam kembali. Selanjutnya, jika kita tau bahwa waktu tidak dapat dihentikan satu detik pun, atau waktu satu hari tidak akan bertambah menjadi 25 jam, maka pastikan bahwa sebelum tidur, kita sudah 100 persen mengisi hari tersebut dengan berbagai kegiatan yang menenuhi prioritas kegiatan yang telah disusun. Mengapa, karena kita tidak akan mendapat dispensasi 110% untuk esok hari.
Kemudian, perlu diingat kembali bahwa, untuk tidak kehilangan banyak waktu, kita perlu bersiap untuk selalu mengasah gergaji. Ingatlah sebuah kisah klasik tentang seseorang bapak yang telah berjam-jam menggergaji sebuah pohon yang besar, ditanya oleh seorang anak kecil
“pak, saya lihat bapak telah menghabiskan waktu tiga jam lebih untuk mencoba menggergaji pohon ini..”
“Betul Nak, inilah yang disebut kerja keras..”
“Ya, betul sih… tapi saya boleh nanya tidak pak?”
“Boleh saja”
“Kenapa Bapak tidak berhenti dahulu untuk kemudian mengasah gergaji ini? Karena kelihatannya gergaji itu agak tumpul sehingga sulit untuk dapat memotong pohon tersebut. Saya pikir itu dapat meringankan tugas Bapak?
“Wah Nak, saya lagi sibuk bekerja keras, sehingga tidak sempat untuk sekedar mengasah gergaji ini…
“…???...”
Apakah kita termasuk golongan ini? Yaitu golongan yang ‘seakan-akan’ berusaha sekuat tenaga untuk bekerja keras dan tidak menyia-nyiakan waktu sedikit pun, namun lupa untuk mengasah gergaji? Sehingga tanpa kita sadari, pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan lebih cepat menjadi jauh lebih lama karena gergaji kita tumpul. Sudah banyak para ahli yang mencoba mendefisikan apa itu gergaji manusia sebenarnya? Namun secara umum, hal tersebut mengkerucut menjadi empat aspek, yaitu
(a) Aspek pikiran/intelegensi/otak
(b) Aspek emosi/sosial
(c) Aspek spiritual
(d) Aspek emosi
Sebuah perusahaan yang terus menerus dirudung masalah misalnya, mungkin ia lupa bahwa saat in sudah diciptakan puluhan tehnik problem solving terbaru yang dapat diterapkan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang berpotensi menghambat lajunya perusahaan. Malasnya sang bos untuk mengasah gergajinya (mungkin dengan iming-iming penghematan) justru menjadi penghambat utama dari lajunya gerbong perusahaan.
Contoh lainnya adalah pada orang yang sibuk dan ‘sok sibuk’. Disekitar kita, biasanya dengan mudah kita menemukan orang-orang yang bergerak dari pagi sampai malam, yang meloncat dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Namun, tidak jarang diantara mereka banyak yang stres sendiri dan seakan-akan kehilangan orientasi. Terutama ketika satu rencana berjalan terlalu lama dan menabrak rencana lainnya. Atau satu rencana gagal sehingga menggagalkan rangkaian selanjutnya. Maka, orang-orang yang ‘sok sibuk, biasanya akan menjadi panik luar biasa. Mereka merasa langit sudah runtuh, dan parahnya lagi mereka tidak memiliki plan B, apalagi C dan D.
Bandingkan dengan mereka yang selalu mengasah gergaji. Setiap selesai sebuah aktivitas/program/kegiatan, mereka dengan sengaja melakukan evaluasi, untuk selalu menemukan jawabah terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti”
- Adakah cara yang lebih baik/lebih cepat untuk menyelesaikan program tadi?
- Adakah jalur/prosedur yang lebih singkat?
- Adakah pihak-pihak yang dapat dilibatkan untuk menyingkat waktu pelaksanaan kegiatan?
- Adalah saluran/media komunikasi yang dapat dimaksimalkan?
- Adalah teknologi yang sebenarnya dapat sangat membantu meringankan pekerjaan yang belum dioptimalkan?
Pada saat mengajukan pertanyaan inilah sebenarnya saat dimana kita sadar bahwa kita dapat berdamai dengan waktu. Intinya adalah bahwa selalu ada jalan untuk menjadi lebih baik dan lebih efektif. Mengeluh mengenai terbatasnya waktu yang kita miliki tidak akan mengubah apapun. Sebaliknya, selalu bertanya mengenai apa yang seharusnya dapat dilakukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan lebih efektif, akan jauh lebih baik. Jadi, waktu tidak akan pernah menjajah kita sebenarnya, sepanjang kita mampu lebih cerdas dan cerdik.